Pengorbananku Buat Alya
Pikiranku nggak tenang nih. Masih aja kebayang soal
kejadian seminggu yang lalu saat temen aku Alya nangis-nangis di depan rumah
aku bilang kalau dia hamil. Waktu itu jelas aja aku kaget setengah mati en bingung banget harus gimana. Alya terus
menangis tanpa henti di rumah aku. Aku
langsung telfon Feri en Lala, orang yang aku yakin bisa bantu nyelesein masalah
kami. Satu jam kemudian mereka dateng ke rumah aku.
“Kok
bisa sih Al? Kamu udah gila ya? Siapa yang nglakuin ini? Ha? Jawab! Si Doni?
Iya?”Lala udah nggak bisa mengendalikan emosinya, sementara Alya tetap menangis
tanpa menjawab.
“Udah
deh La. Alya mungkin masih syok. Kamu jangan emosi gitu. Kasian kan Alya,”aku
berusaha menenangkan suasana.
“Sekarang
yang paling penting adalah gimana caranya menyembunyikan janin itu atau…. kita
harus gugurkan janin itu,”kata Feri kemudian.
Mata Alya
terbelalak mendengar kata ‘gugurkan’. “Hah… Gu… gugurkan?”Alya berkata lemas
dan sangat pelan.
“Iya,
kamu mau orang tua kamu tau temen-temen tau apalagi sekolah tau? Kamu mau
dikeluarin? Kamu siap masa depan kamu hancur?”Feri juga mulai emosi.
Rapat
singkat kami harus berakhir karena Mama aku dateng. Feri ama Lala akhirnya
pulang dan menyerahkan Alya sepenuhnya padaku. Untung waktu itu malem minggu. Aku membantu Alya supaya bisa ijin sama
ortunya biar bisa nginep di rumahku. Berhasil deh dapet ijin tanpa curiga en
pertanyaan dari ortunya. Kalo masalah nginep di rumahku sih, emang udah biasa
temen-temen nginep di rumahku.
Setelah
Alya agak tenang, kami mulai berdikusi serius masalah kehamilannya.
“Aku
nyesel Ca, aku nyesel…Sekarang semua udah telanjur, aku harus gimana? Hiks..
Hiks…,”
“Iya
Al, aku ngerti. Tapi mau gimana lagi? Semua udah telanjur. Mendingan kita mikir
apa yang harus kita lakukan sama janin itu. Udah lah… Aku, Lala en Feri siap
bantu kamu kok,”
“Hiks…
Hiks… Aku bingung harus gimana Ca. Aku … Aku takut nanti nanggepin orang-orang
kalau sampe tau kehamilan aku… Hiks… Hiks…,”
Ya
Tuhan… Kenapa ini bisa terjadi sama sahabat aku? Aku baru sadar kalau
keperawanan itu sangat penting en harus dijaga. Huh! Ini semua gara-gara Doni!
“Gi…
Gimana dengan Doni? Apa… dia tau?”
“Belum…
Aku baru mau bilang ke dia. Aku takut Ca, aku takut kalau dia nanti malah
ninggalin aku n nggak mau tanggung jawab,”
“Kok
bisa sih? Harusnya dia orang pertama yang harus tau. Trus kamu mau gimana?
Cepat atau lambat kamu harus bilang ke dia,”
“Hiks…
Hiks… aku bingung Ca… Aku takut…,”
Sumpah!
Aku nggak tega ngliatin dia nangis kaya gini. Aku nggak brani nanya-nanyain dia
apalagi sampe ngira aku nyalahindia. Kasian banget. Sementara Alya nangis di
kamar aku en aku yang setia berada di sampingnya, aku terus berdiskusi dengan
Feri dan Lala apa yang akan kami lakukan dengan kehamilan Alya. Dan Doni?
Setelah malam pertama Alya nginep di rumah aku, Aku, Feri en Lala nganterin
Alya ke rumah Dony.
“Eh,
Al… Lho? Kenapa? Tumben rame-rame kesini?” kata Dony begitu membuka pintu
rumahnya.
Kami
nggak ada yang jawab pertanyaan Dony. Sepertinya dia udah sadar raut muka Alya
yang sembab setengah menangis. Dony lalu mendekati Alya.
“Hei,
kamu nangis ya Al? Kenapa? O ya, nomer hp kamu juga nggak kamu aktifin kan? Ada
apa?”
Air
mata Alya malah mengalir lagi. Kami pun menatap Dony dengan tatapan marah.
Tampak dia semakin heran. Akhirnya Lala yang memulai pembicaraan.
“Mendingan
kita bicara di dalem aja. Takut ada orang,”
“Ha?
Emang ada apa sih? Emm… ya udah, silakan masuk,”
Dony
yang masih belum tau apa-apa membelai Alya yang menangis. Dia memapah Alya yang
tampak lemas. Aku sempat denger dia nanya ada apa sama Alya saat dia mapah
Alya, dan hal itulah yang membuat air mata Alya semakin deras.
“Sebenernya
ada apa ini? A… Aku jadi bingung,”
Akhirnya aku yang jelasin semua sama Dony. Alya nggak
bisa berkata apa-apa lagi. Dia terus menangis. Reaksi Dony tampak kaget, tapi
dia nggak mengelak sama sekali. Dia cuma tampak kaget dan syok. Saat aku nanya
sama dia apa rencananya tentang kehamilan Alya, dia nggak bisa jawab. Dan saat
aku bilang dia harus nikahin Alya…
“Stop…
stop… Mendingan sekarang kalian pulang dulu. A… aku nggak mau Tante aku denger
soal ini. Aku mohon kalian pulang dulu,”
“Apa
kamu bilang?!!!” Feri berdiri dan mencoba meninju muka Dony tapi aku sigap
mencegahnya.
“Ka…
kamu bener-bener cowok cemen tau nggak?!!” Feri tampak sangat emosi.
“A… aku
janji bakal mikir jalan keluarnya. Tapi aku mohon, sekarang kalian pulang dulu.
Tanteku sebentar lagi pulang,”
“Kamu…,”
emosi Feri semakin menjadi-jadi.
Tanpa
aku duga, Alya berdiri dan memberi isyarat sama Feri biar dia jangan emosi.
Alya menatap Dony dan Dony membalas tatapan itu.
“Al,
please… Kamu ngerti kan Tante aku kaya gimana? Aku mohon, kamu pulang dulu,”
Sesaat,
aku ngerasa tatapan Alya yang kecewa dan rasa sedih yang lebih dari sebelumnya.
Namun Alya akhirnya mengajak kami pulang. Untuk menjaga perasaan Alya, akhirnya
kami menuruti kemauan Alya. Tapi aku yakin, sebenernya bukan ini yang Alya
harapkan.
Aku tersadar dari lamunanku tentang peristiwa seminggu
yang lalu itu saat hp ku bunyi. Tenyata Alya nelfon aku. Sebenernya baru ini
dia menghubungi aku sejak dari rumah Dony.
“Ya
Al?”
“Ca…,”
“Kenapa
Al?”
“Ca,
Fery bilang aku musti gu…gugurin Ca,”
“Lho?
Emang Dony juga bilang gitu?”
“Nggak
Ca, Dony ngilang. Udah 3 hari dia menghilang Ca,”
“Tapi
dia bilang apa sebelum menghilang? Apa dia bilang suruh gugurin?”
“Setiap
aku nanya sama dia, dia slalu ngalihin pembicaraan Ca. Bahkan dia bilang ini
bukan perbuatannya Ca… Hiks,” terdengar suara Alya mulai menangis.
“Kamu
gimana sih Al? Kamu terlalu bodoh Al! Harusnya kamu terus desak dia. Kamu pikir
ini masalah yang sepele apa! Kamu harus minta pertanggung jawabannya Al. Ka… kamu….
Ah!” emosiku mulai memuncak.
“A… aku
takut Ca. Hiks… Hiks…,”
“Tut…”
Pembicaraan
kami berhenti begitu aja. Nggak tau deh siapa yang matiin telpon itu, tapi yang
jelas aku sudah nggak pengen bicara panjang lebar lagi sama Alya. Dia tu
sukanya mengeluh tapi nggakmau berusaha. Huh! Tapi… Bagaimanapun dia emang lagi
di posisi yang sulit en aku musti bantu dia.
Entah
setan mana yang mempengaruhi aku. Setelah beberapa menit aku memikirkan Alya,
aku ambil kunci motor aku en siap menuju rumah Dony sendirian. Kalau aku mesti
ngajak Lala ataupun Fery pasti malah lama. Aku udah keburu emosi! Saking
emosinya, aku nggak karuan nih naik motornya. Hampir aja aku nyerempet bocahyang
lagi naik sepeda. Ya Tuhan… Tenangkanlah fikiran saya.
Sampai
di rumah Dony, nggak tanggung-tanggung. Aku gedor-gedor tu pintu. Udah nggak
berfikir soal prosedur bertamu yang baik dan benar. Disitu ternyata Tantenya
yang bukain pintu.
“Hei
hei hei… ada apa ini? Dasar nggak punya sopan santun!”
“Maaf
tante, ini…”
“Heh!
Ngapain kamu Ca?!”
“Oh,
ini temen kamu Don? Sama sakali nggak punya sopan santun!”
“Ma…
maaf Tante, biar Dony yang bilang ke dia,”
Walaupun
tantenya Dony marah-marah sama aku, aku sama sekali nggak peduli. Aku tetap
memasang ekspresi marah walaupun ada tantenya Dony. Saat Dony udah memastikan
tantenya ke belakang, dia mulai ndeketin tempat aku berdiri. Dia narik tangan
aku masuk ke rumahnya.
“Maksud
kamu apa sih Ca? Aku kan udah bilang bakal selesein masalah ini sendiri. Tapi
nggak sekarang, waktunya belum tepat Ca…”
“Hah!
Apa nggak ada alasan lain selain itu? Dari kemaren kamu cuma bilang gitu, tapi
nyatanya?” kataku setengah membentak.
“Ssst…
Jangan keras-keras, kamu mau semua orang tau tentang masalah ini apa?”
“Ahh
cukup Don! Aku udah muak sama alasan kamu! Kamu…”
“Heh!
Kalian nggak berhak ikut campur masalah aku sama Alya! Kalian pikir Alya mau
kalian ikut campur masalah ini? Kalian cuma sok tau!”
“Tutup
mulutmu Don! Sebagai sahabat Alya, kami nggak akan pernah terima kalo Alya kamu
ham…”
Auw…
Tangannya dengan kasar membungkam mulutku. Sesak rasanya. Begitu kuatnya tangan
itu. Setelah beberapa saat dia bungkam mulutku sambil menyelidik apakah mungkin
ada yang mendengar hal barusan, dia mendorong aku keluar rumah. Saking kerasnya
aku sampai terjatuh.
“Mendingan
kamu pergi sekarang!”
Aku
merasa takut dengan tatapannya mengingat begitu kasar perlakuannya barusan.
Akupun langsung bergegas pulang. Aku secepetnya laporan sama Fery apa yang
terjadi barusan. Dia bilang, hal ini harus diselesein sendiri tanpa Dony. Dia
yang lebih ngerti Dony. Ngliat sikap Alya yang udah pasrah, kami sepakat buat
nganterin Alya ke tempat pengguguran kandungan.
Keesokan
harinya sepulang sekolah,
“Haduh
La, Ca, kok susah banget sih ngluarinnya? Aku nggak mau ah hamil lagi, he he
he” kata Alya waktu dukunnya mencoba mengeluarkan janinnya.
“Ya
iya lah! Gila apa kamu mau kaya gini lagi? Ogah aku kalo suruh nganterin kamu
ke sini lagi, he he”
Aku
bersyukur banget Alya udah bisa bercanda kaya gini. Aku sempet takut kalo dia
nglakuin seperti yang di TV-TV itu, bunuh diri… Huaaaa Aku nggak mau Alya kaya
gitu. Mengerikan!
2
bulan udah berlalu setelah kejadian itu. Tapi suatu hari Alya dipanggil ke
ruang BK. Wah, ada apa ini? Kalau nggak ada masalah nggak bakalan dipanggil
kesana. Apa penerimaan beasiswa? Ah, bukan! Dia kan nggak pinter, dia juga anak
orang kaya. Trus kenapa?
Saat
Alya kembali dari ruang BK, aku langsung nanya sama dia apa yang terjadi. Tapi
dia hanya tampak sedih dan nggak mau jawab pertanyaan aku dengan alasan nggak
mau bahas itu lagi. Aku coba ngehargain itu, walau sebenernya aku agak kecewa
dia nggak bilang sama aku.
Sejak
dia keluar dari ruang BK, dia sama sekali nggak bicara. Kalau sampai buka mulut
pun, itu karena hal yang sangat penting en karena aku yang ngomong duluan.
Sampai pulang sekolah, aku sama Alya masih diem-dieman. Nggak enak sih, tapi
mau gimana lagi? Dia sendiri yang minta kok.
Eh,
aku lupain dulu tuh masalah sama Alya. Yang bikin aku seneng, hari ini aku
dijemput sama Kak Haris. Ouww… Kak Haris… Sebenernya baru satu minggu ini aku
deket sama dia, tapi pesonanya itu… Kak Haris adalah kakak kelas aku, Alya en
Fery waktu SMP. Haduh, dulu dia tu jadi rebutan cewek-cewek termasuk aku en
Alya. Sekarang dia malah jemput aku sekolah. Aduhh… senengnya…
Siang
itu, aku main sama Kak Haris. Jalan-jalan ke taman, ke pantai en nonton film.
Senengggg benget rasanya. Pengen deh crita sama Alya, tapi takutnya dia masih
jutek kaya tadi. Aku nggak mau ah dikacangin. Mendingan tidur en mimpiin Kak
Haris. Hehehe
Hari ini aku harus gimana ya sama Alya? Biasanya sih,
dia duluan yang minta maaf sama aku. Jadi aku nunggu aja deh dia minta maaf
sama aku. Tapi pelajaran demi pelajaran sudah berlalu dan Alya masih diemin
aku. Bahkan setelah istirahat pertama dia pindah tempat duduk. Huft! Apa sih
yang buat Alya kaya gini? Waktu istirahat Alya bareng sama Fery, en kalo aku
mau deketin nggak enak rasanya. Akhirnya aku sendiri deh.
Nggak
nyangka, ini kedua kalinya Alya diemin aku sampai pulang sekolah. Yang pertama
waktu aku ngerjain dia dulu sampe dia malu banget. Tapi yang ini kenapa? Apa
kesalahanku kali ini? Tiba-tiba Sinta, temen sekelas aku duduk di sebelah aku
setelah di kelas sepi.
“Eh
Ca,”
“Emm?
Kenapa?”
“Kok
Alya tadi pindah tempat duduk sih? En kayaknya dia marah ya sama kamu?”
“Nggak
tau tuh. Salahku apaan juga nggak tau,”
“Ouww
gitu. Eh Ca, apa bener kalo… Alya ha… hamil?”
Sinta
menyebutkan kata hamil dengan sangat lirih, tapi kata itu cukup buat aku kaget.
Sangat kaget! Aku berusaha menyembunyikan rasa gugupku.
“Hah?
Apa? Nggak mungkin ah. Kamu kata siapa?”
“Aku
juga cuma denger-denger sih. Katanya anak-anak kelas 12 lagi pada ngomongin
soal itu Ca. Aku kira kamu tau sesuatu,”
“Ah,
nggak mungkin. Alya tu main sama aku terus tau,”
“Ouww.
Ya aku ngrasa aneh aja saat ada gossip kaya gitu, Alya sikapnya aneh di kelas,”
“Nggak…
Nggak mungkin. Orang-orang yang sirik sama Alya aja yang nyebar gossip kaya
gituan. Alya kan popular di sekolah, wajar lah banyak yang sirik,”
“Emmm,
iya ya. Ya udah, aku cuma mau nanya itu kok. Ayo kita pulang Ca,”
“Oh,
kamu duluan aja Sin. Aku ada kerjaan nih,”
“Oke
deh. Duluan ya Ca…”
Astaga!
Apa katanya tadi? Ada yang ngomongin Alya? Dari anak kelas 12 lagi. Haduh!
Gimana kakak kelas bisa tau? Dari mana? Yang tau hal ini cuma aku, Alya, Fery
en Lala. Walaupun Lala beda sekolah, nggak mungkin dia nyebarin aib Alya. Fery?
Ah, nggak mungkin! Dia yang paling nglindungin Alya. Trus dari mana?
Sorenya
aku smsan sama Fery en Lala tentang
semua yang terjadi hari ini. Awalnya Fery malah marah-marah sama aku waktu
pertama kali aku sms dia. Dia nuduh
aku yang nyebarin aib Alya. Dia bilang Alya marah sama aku karena dia pikir aku
yang nyebarin aibnya. Ya Tuhan…
Keesokan
harinya, begitu Alya masuk ruang kelas, aku langsung deketin dia dan coba
jelasin semuanya. Aku pikir, ini bakal gampang. Tapi… Alya sama sekali nggak
peduli kata-kataku. Dia seakan tidak mau lagi kenal sama aku. Tuhan… Alya
kenapa? Padahal aku berkata jujur. Entah kenapa, rasanya sakit banget. Sakitnya
melebihi saat aku merasakan putus cinta. Aku langsung sms Lala, aku mau cerita sama dia tentang semuanya. Tapi aku baru
bisa ketemu dia pulang sekolah nanti. Pelajaran hari ini sama sekali nggak
masuk dalam otakku. Aku sama sekali nggak konsen!
“La,
kenapa Alya gini sama aku? Dia nggak inget apa semua pengorbanan aku buat dia?
Aku bela dia mati-matian La! Aku boongin semua orang! Aku bersedia ikut
nanggung dosanya buat gugurin janinnya. Dan waktu itu, aku rela nyamperin tu Dony! Aku didorong ampe jatuh La! Tapi
sekarang apa? Seperti sia-sia aku nglakuin itu semua. Hiks…,” tak terasa air
mataku mengalir.
“Udah
Ca, udah. Alya emang keterlaluan,”
Seminggu
telah berlalu sejak Alya diemin aku. Selama itu juga aku merasa sakit. Yang
bisa menghiburku saat ini adalah Kak Haris. Semakin hari aku semakin deket sama
dia. Dia sering jemput aku, nemenin aku, hibur aku en pokoknya aku nyaman
banget kalau deket sama dia.
Berita
tentang kehamilan Alya menjadi gossip di muka umum. Termasuk orangtuanya.
Sekolah dan orangtuanya menganggap masalah ini hanya fitnah. Tapi, untuk
beberapa murid dan kakak kelas berbeda. Mereka men cap Alya buruk. Bahkan saat Alya lewat di depan kelas mereka,
secara terang-terangan pun mereka berani mengejek Alya. Fery bilang ada salah
satu kakak kelas yang menjadi pacar baru Dony, en Dony lah yang nyebarin aibnya
sendiri. Astaga! Kini semua menjadi jelas.
Aku
cerita tentang Alya sama Kak Haris, tapi tentunya aku nggak sebut nama. Dia
terus menghibur aku. Sampai akhirnya dia nembak aku.
“Ca,
aku bisa nemenin kamu begini kapanpun kamu mau. Aku mau menghibur kamu.
Makanya… kamu mau nggak jadi cewek aku?”
Hah?
Apa dia bilang barusan? Aku tersenyum walau dalam sedihku. Dan aku mengangguk,
en Kak Haris tau apa maksudku. Danau yang menjadi saksi hal yang indah ini,
akan aku jadikan tempat kenangan. Tempat ini juga menjadi tempat dimana aku en
Alya sering bercanda sama-sama. Oh… Alya. Saat aku mikirin Alya, tanpa sadar
aku udah ada di pelukan Kak Haris. Wahhh…..
Tiba-tiba….
“Byurrr….”
Hah?
Apa barusan? Ada orang yang nyebur ke danau. Gila apa? Kan udah ada larangan
buat mandi atau berenang di danau ini. Saat aku en orang-orang di sekeliling
aku cek siapa yang nyebur… Hah? Itu… Itu Alya! Apa yang dia lakukan?
Samar-samar terdengar banyak orang membicarakan Alya. Kata mereka Alya
menceburkan dirinya ke danau. Dia… dia bunuh diri!
“Kak!
Tolong Alya Kak! Alya nggak bisa renang! Gimana ini?”
“Aku…
aku juga nggak bisa Ca!”
“Arghhh….”
Byurrr…
Entah apa yang aku pikirkan. Padahal aku belum lulus les renang udah brenti.
Jadi ini aku belum bisa. Tapi yang aku pikirkan hanyalah menyelamatkan Alya.
Aku berenang dengan lancar. Aku raih tubuh Alya dan berusaha ku angkat agar dia
bisa bernafas. Tapi saat itu juga, keseimbanganku mulai hilang dan aku tersedak
karena air. Namun aku tetap mengangkat tubuh Alya. Akhirnya kemampuanku sudah
mencapai batas. Aku nggak kuat, aku kehabisan nafas. Apa aku sudah hampir mati?
Hanya terdengar samar-samar Alya memanggil namaku dan orang-orang di sekitar
danau berteriak “Tolong… tolong… ada orang tenggelam!” Tapi nggak ada satu
orang pun yang menolong.
Gelap…
pusing… berputar-putar rasanya kepalaku. Apa ini rasanya mati? Tapi… kenapa
seperti bau… Ah, rumah sakit? Ini bau rumah sakit! Dan ketika aku meraba-raba,
seseorang berada di sampingku.
“Ma…
mama,”
“Emm…
Caca? Kamu udah sadar? Syukurlah…”
Ya
Tuhan… aku masih hidup! Kamar ini gelap karna mamaku pikir kalau tidur lampu
memang harus dimatikan. Fiuhhh…. Aku pikir aku udah mati. O iya!
“Alya
ma?”
“Udah…
tenang aja, Alya nggak pa pa kok. Mama bangga kamu mau nolong temen kamu, tapi
kira-kira dong Ca. Jangan bahayakan diri kamu sendiri,”
Syukur
deh Alya nggak pa pa. Keesokan harinya, Kak Haris jenguk aku. Aku langsung
minta dia nganterin aku ke kamar rawat Alya. Kak Haris bersikeras nggak mau
nganterin aku dengan berbagai alasan. Kondisiku belum pulih lah, nunggu mamaku
dateng lah dan lain-lain. Tapi aku tetep ke kamar Alya, dan akhirnya Kak Haris
ngikutin. Hehe
Aku
gugup saat buka pintu kamar Alya, yang aku lihat pertama di kamarnya ada Papa
Alya dan Fery. Aku berjalan masuk perlahan sambil tersenyum memberi hormat
kepada Papa Alya.
“Eh,
Caca dan Haris… Sini Om bantu,”
“Oh,
nggak usah Om. Caca bisa kok,”
“Eh
ca, sorry ya aku belum jenguk kamu. Hehe,”
“Nggak
pa pa kok,”aku duduk di kursi sebelah tempat tidur Alya.
Sesaat
aku merasa Alya menatap Kak Haris dengan tatapan benci. Dan kemudian Kak Haris
permisi untuk menunggu di luar. Ah, mungkin cuma perasaanku saja.
“Om
sangat berterima kasih kepada nak Caca dan nak Fery yang telah menolong anak
saya. Terima kasih banyak,”
“Oh,
nggak pa pa kok Om, J”Fery menjawab dan aku fikir itu juga mewakili
jawabanku.
“Om
mau merepotkan lagi. Om mau keluar untuk mencari makanan. Nak Fery bisa menjaga
Alya sebentar?”
“Oh,
bisa bisa Om… Dengan senang hati,”
“Terima
kasih nak Fery. Maaf ya merepotkan,”
Sesaat
setelah Papa Alya meninggalkan ruangan. Mata Alya tampak sembab menatapku dan
hal itu membuatku merasa terharu.
“Ca…
Maafin aku Ca,”
“Iya
Al, nggak pa pa kok,”
Alya melik
aku. Rasanya seneng plus lega. Akhirnya kami baikan juga. Sebenernya aku masih
penasaran sih apa yang buat Alya marah sama aku, tapi daripada malah jadi
masalah lagi mendingan aku diem aja. Aku udah maafin Alya….
“Makasih
Ca… Kamu bener-bener sahabat terbaik aku. Hiks… hiks… Selama ini aku yang egois
Ca. Kamu udah baik banget sama aku… hiks… Aku nyesel… hiks,L”
“Udah
Al… Nggak pa pa kok. Kamu nggak salah kok, ngapain minta maaf?”
“Ca…” Alya melepas pelukannya dengan perlahan. Suara
tangisnya mulai reda, tapi ekspresi mukanya mulai berubah seperti sangat
menyesal.
“Ada
apa Al?”
“Aku
nggak mau kamu sama Kak Haris…”
Aku
diam, sambil menatap Alya keheranan.
“I…
ini bukan seperti yang kamu kira Ca. Bukan karena aku cemburu. Emm… awalnya
begitu, tapi… ahh… Gini ca… Aku dan Kak Haris udah melakukan hubungan… dan… dia
tau kalo aku udah nggak perawan lagi… Makanya kamu jangan pernah pacaran sama
dia!”
Apa?!!
Aku kaget banget! Sumpah! Aku kaget setengah mati! Aku berdiri menggeram en
rasanya tu… Arghhh!! Kayaknya Fery yang dari tadi Cuma diem aja udah tau
semuanya. Huh!!
“Aku
mohon maafin aku Ca… Aku nyesel, L”
Aku
masih belum bisa nerima ini semua. Aku nggak bisa ngomong apa-apa.
“Please
Ca… Maafin aku… hiks,”Alya memegang tanganku dengan raut muka yang sangat
memelas.
“Penyesalan
emang datengnya akhir ya… Setelah semua yang aku lakuin buat kamu, aku korbanin
buat kamu… tapi yang aku dapet sekarang apa? Aku… ah bukan Cuma aku, Lala en
Fery juga, udah berusaha mati-matian nyembunyiin aib kamu! Tapi kamu… Kamu
ngulangin kesalahan kamu lagi?! Dulu kamu bilang apa sama aku? Kamu mau berubah
kan? Tapi nyatanya?! Dan nasibku dibenci sahabat karena sahabatku cemburu aku
jalan sama cowok yang disukainya… Apa ini balasan setimpal Al? hiks…”
“Udah
Ca… udah…”Fery berusaha menenangkan suasana.
Aku
en Alya sama-sama nangis, sementara Fery terus berusaha nenangin kami sebelum
Papa Alya kembali. Aku emang kecewa babget sama Alya, tapi entah kenapa aku…
aku meluk Alya. Aku bilang sama dia supaya dia jangan ngulangin hal-hal jelek
lagi. Akhirnya Alya tetap jadi sahabat sejatiku.
Soal
Kak Haris… Aku berusaha tabah buat ngucapin selamat tinggal sama dia. Aku juga
bilang sama dia kalo sampe Alya hamil (lagi), aku suruh dia tanggungjawab en
dia setuju. Setelah periksa, ternyata Alya nggak hamil en kami berdua sepakat
buat sama-sama jauhin Kak Haris. Huft…
***@selesai@***
By : Vizensia Nungki Arsanti
Komentar
Posting Komentar